Skip to main content

Khutbah Jum'at: ' K o r u p s i'


KHUTBAH JUM’AT
MASJID ABU BAKAR AS-SHIDDIQ

 “KORUPSI”

Sugeng Riyadi Syamsudien, SE, M.S.I
Jum’at: 4/10/2013
  

إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهْ وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. يَا أَيُّهَا النَّاسُ أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمـَّدٍ سَيِّدِ الْمُرْسَلِيْنَ وَاَفْضلِ اْلاَنْبِيَاءِ وَعَلَى آلِهِ وَاَصْحَاِبه اَجْمَعِيْنَ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ قَالَ تَعَالَى: يَا أَيُّهاَ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُمْ مُّسْلِمُوْنَ. يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا. يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيْمًا.

Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah SWT,
Seluruh satuan waktu yang kita lalui dalam dunia ini tidak pernah lepas dari nikmat Allah SWT. Sejak kita berada dalam rahim ibu kita, saat kita dilahirkan, masa kanak-kanak, remaja, sampai dengan hari ini. Semuanya tidak lepas dari nikmat Allah SWT. Karena itulah wajib bagi kita untuk bersyukur kepada Allah SWT. Dan bentuk syukur itu tidak lain adalah taqwa. Yakni berupaya menjalankan segala perintah Allah SWT dan menjauhi segala larangan-Nya. Saat kita sendiri maupun dalam kondisi bersama manusia.

Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah SWT,
Berita yang selama bulan-bulan terakhir ini mengemuka diantaranya adalah kasus korupsi dan suap. Karenanya dalam khutbah jum'at kali ini, khatib mengajak kita untuk mencermatinya dua hal penting di dalam kasus ini secara Islam. Khatib hendak mengajak kita bersama membahas suap dan korupsi.

 
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Suap yang dalam istilah fiqih dikenal dengan nama risywah (الرِشْوَةُ) adalah pemberian sesuatu kepada pihak yang berkuasa atas urusan tertentu agar pihak itu memutuskan urusan sesuai kehendak pemberi suap, menggagalkan kebenaran, maupun mewujudkan suatu kebathilan. Jika ada seorang hakim, misalnya. Ia hendak mengadili suatu perkara kita. Lalu kita memberinya sesuatu agar keputusannya memenangkankan kita padahal sebetulnya kita di pihak yang salah, itu termasuk suap.
Sama halnya jika seorang petugas pajak datang kepada kita untuk memeriksa pajak. Lalu kita memberinya sesuatu agar ia meringankan tagihan pajak kita, itu juga termasuk suap.
Kasus ini persis seperti kasus pada zaman nabi, meskipun yang dipungut berbeda. Saat itu Rasulullah SAW menugaskan Ibnu Luthbiyah, salah seorang dari suku Azdi untuk menghimpun zakat. Ketika menghadap Rasulullah ia menyerahkan sebagian harta itu, dan sebagian yang lain tidak diserahkan. Ia berkata: "(Harta) ini untuk engkau (zakat), dan yang ini dihadiahkan buatku." Lalu Rasulullah SAW bersabda:

فَهَلاَّ جَلَسَ فِى بَيْتِ أَبِيهِ أَوْ بَيْتِ أُمِّهِ ، فَيَنْظُرَ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ وَالَّذِى نَفْسِى بِيَدِهِ لاَ يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْهُ شَيْئًا إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى رَقَبَتِهِ ، إِنْ كَانَ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ
Mengapa kamu tidak duduk di rumah ayahmu atau ibumu saja, lalu menunggu kamu diberi hadiah atau tidak. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang darimu mengambil sedikitpun dari (hadiah) itu, kecuali akan dia pikul nanti pada hari kiamat di lehernya, jika (hadiah) itu unta, maka dia (memikul unta) yang bersuara, jika (hadiah) itu sapi, maka (dia memikul sapi) yang bersuara, jika (hadiah) itu kambing, maka dia (memikul kambing) yang mengembik. (HR. Bukhari)

Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah SWT,
Hukum suap atau risywah (الرِشْوَةُ) adalah haram. Baik bagi orang yang menyuap (الرَّاشِى) maupun orang yang menerima suap (الْمُرْتَشِى). Adapun dalil dari Al-Qur'an adalah firman Allah SWT:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah : 188)

Larangan Allah yang bersifat umum dalam ayat ini juga termasuk suap. Karena suap adalah cara yang bathil, memakan harta suap termasuk dilarang oleh Allah SWT.

Kedua, adalah hadits Rasulullah SAW yang secara tegas beliau melaknat baik orang yang menyuap (الرَّاشِى) maupun orang yang menerima suap (الْمُرْتَشِى).

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الرَّاشِىَ وَالْمُرْتَشِىَ
Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap dan penerima suap. (HR. Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad)

Ketiga, adalah ijma' para shahabat, tabi'in dan tabiut tabi'in, yang tidak ada seorang pun diantara mereka yang membolehkan suap atau risywah (الرِشْوَةُ) ini.

Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Seringkali orang-orang ragu-ragu dalam hal suap karena menyangka bahwa itu semacam hadiah saja. Sementara hadiah itu sendiri justru disunnahkan Rasulullah SAW dan bisa menimbulkan saling cinta. Beliau SAW bersabda :

تَهَادَوْا تَحَابُّوا

Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling mencintai. (HR. Baihaqi, Thabrani, dan Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Sesungguhnya suap berbeda dengan hadiah. Untuk membedakannya, kita bisa melihatnya dari beberapa sisi:

Pertama, suap itu diberikan dengan tujuan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan pemberi suap. Entah itu agar memberikan keputusan yang menguntungkan maupun memberikan keputusan yang merugikan pihak lain. Sedangkan hadiah itu ikhlas, tanpa niatan seperti itu. Sehingga, kalau pun namanya hadiah tapi ada motif seperti itu dibaliknya, ia telah berubah menjadi suap.

Kedua, suap itu membuat orang yang diberi menjadi tidak adil. Ia lebih condong kepada pemberi suap dan cenderung menguntungkannya. Pada aspek ini, sangat tipis perbedaan hadiah dan suap. Jika seorang guru mendapatkan pemberian dari muridnya, misalnya. Lalu dengan pemberian itu ia mengubah nilai dari semestinya, maka pemberian itu telah menjadi suap baginya.

Ketiga, suap itu akan merugikan salah satu pihak. Sedangkan hadiah tidak berpengaruh pada pihak manapun. Contoh yang mudah dalam hal ini adalah ketika memutuskan sesuatu atas dua orang atau lebih. Dengan adanya pemberian dari salah seorang diantaranya kemudian keputusan menjadi berubah dan merugikan orang lain yang tidak memberikan apa-apa, itu termasuk suap.

Keempat, biasanya suap itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi sementara hadiah diberikan secara terang-terangan.

Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah SWT,
Suap atau risywah (الرِشْوَةُ) ini selamanya haram kecuali untuk mengembalikan hak. Inipun bagi yang memberi suap (الرَّاشِى) karena alasan ini yang pasti dan jelas. Sedangkan bagi pihak yang menerimanya (الْمُرْتَشِى) tetap menjadi haram baginya. Contohnya, seseorang sudah diterima menjadi karyawan. Namun SK-nya tidak diberikan oleh seorang pejabat. Pejabat ini akan tetap menahan SK selama tidak mendapatkan pemberian tertentu. Di sini boleh bagi karyawan yang diterima tadi untuk memenuhi permintaan pejabat (karena terpaksa) namun bagi pejabat, pemberian itu tetap haram baginya.

Beberapa dalil yang menunjukkan ini adalah apa yang dilakukan Ibnu Mas'ud ketika beliau berada di Habasyah. Beliau tidak diperbolehkan lewat, padahal beliau berhak lewat jalan itu. Ternyata penjaganya meminta disuap. Maka Ibnu Mas'ud memberikan dua dinar supaya diperbolehkan lewat. Beliau berkata:
إِنَّماَ الْإِثْمُ عَلىَ القَابِضِ دُوْنَ الدّافِعِ
Dosanya hanya untuk yang mengambil, bukan yang memberi.

Kedua, Jabir bin Zaid, Sya'bi, Atha' dan Ibrahim An-Nakha'i, mereka berpendapat "Tidak mengapa seseorang memberikan suap untuk membela diri dan hartanya jika dia takut perbuatan zhalim menimpanya." Demikian pula banyak atsar para tabi'in yang memperbolehkan hal ini.

Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,
Adapun korupsi, yakni perilaku pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka, merupakan hal yang juga diharamkan dalam Islam. Bahkan tergolong dosa besar. Karena hakikat korupsi adalah mencuri, bahkan dalam skala besar.

Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil... (QS. An-Nisa : 29)

Sedangkan korupsi adalah memakan harta dengan cara yang paling bathil. Tentu tingkat keharamannya bahkan lebih besar dari mencuri.

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Maidah : 38)

Jika mencuri hukumannya adalah potong tangan, korupsi juga mendapatkan ancaman serupa, bahkan lebih berat. Ini karena betapa besar dosanya, yang mereka tidak hanya menzalimi jutaan rupiah tetapi sampai miliaran bahkan triliunan rupiah.

Jama'ah Jum'at yang dirahmati Allah SWT,
Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa suap dan korupsi adalah hal yang haram dalam Islam dan dosanya amat besar di sisi Allah SWT. Semoga kita mendapat hidayah dari Allah SWT sehingga bisa menghindar dari suap, baik menyuap maupun menerima suap, serta dari korupsi.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ. بَارَكَ الله لِى وَلَكُمْ فِى اْلقُرْآنِ اْلعَظِيْمِ, وَنَفَعَنِى وَإِيَّاكُمْ بِمَافِيْهِ مِنْ آيَةِ وَذْكُرَ الْحَكِيْمَ وَتَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ وَاِنَّهُ هُوَالسَّمِيْعُ العَلِيْمُ, وَأَقُوْلُ قَوْلى هَذَا فَاسْتَغْفِرُ اللهَ العَظِيْمَ إِنَّهُ هُوَ الغَفُوْرُ الرَّحِيْم


اَلْحَمْدُ للهِ عَلىَ اِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَاَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى اِلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا
اَمَّا بَعْدُ فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوااللهَ فِيْمَا اَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا اَنَّ اللهّ اَمَرَكُمْ بِاَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى اِنَّ اللهَ وَمَلآ ئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلِّمْ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ اَبِى بَكْرٍوَعُمَروَعُثْمَان وَعَلِى وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَىيَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ. اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ. رَبَّنَا آتِناَ فِى الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِى اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَاوَاِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ. عِبَادَاللهِ ! اِنَّ اللهَ يَأْمُرُنَا بِاْلعَدْلِ وَاْلاِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِى اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوااللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Perkuliahan

 Assalamu'alaikum Mahasiswa! Dalam laman ini akan dideskripsikan ruang keilmuan yang diampu Pak Dosen. Tentu, secara berkala akan dilakukan revisi-revisi yang relevan dengan data dan perkembangan keilmuan. Jadi, halaman ini akan menjadi semacam peta perkuliahan yang memudahkan bagi mahasiswa untuk mengakses pokok-pokok tema pengetahuan yang akan dibahas dalam perkuliahan.  Perkuliahan yang akan disematkan di sini mengadung kontrak perkuliahan, Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan materi-materi yang menjadi diskursus pembahasan. Bagi mahasiswa dan pengunjung, jangan lupa untuk memfollow situs ini untuk memudahkan informasi perkembangan keilmuan yang sedang didalami.  Daftar Perkuliahan: Etika Bisnis Islam Akuntansi Syariah Hukum Gadai Pengantar Ekonomi Syariah

Sejarah Filologis Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh

  Secara demografis, Desa Dukuhwaluh merupakan perluasan kawasan Desa Pandak dan Dusun Woeloeng yang berbatasan dengan Desa Tambaksari, Desa Bantarwoeni, Desa Karangsari, Desa Bojong dan Desa Artja di sisi selatan. Pemekaran kawasan ini sekaligus menjadikan suatu kawasan administrasi yang baru dengan sebutan Dukuhwaluh. Pada tahun 1992 di sisi barat daya Desa Dukuhwaluh berdiri lembaga pendidikan agama Islam bercorak salafiyyah atas inisiasi Dr. KH. Chariri Shofa, M.Ag atau yang masyhur diingat sebagai Kyai Khariri. Sebelum membuka pemukiman santri di Dukuh Wulung, beliau merupakan salah satu dari badal pendiri dan pengasuh yaitu KH. Muslich bersama Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsani di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto.

Sarung Berlogo NU Dikecam, Produsen dan Reseller Mengerang.

Ilustrasi Sarung NU Sarung NU Indetitas masih menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Termasuk logo Nahdlatul Ulama (NU) di kalangan pasar Nahdliyyin. Bagi sebagian pembeli, sarung karakter satu ini bukan hanya sekedar sarung biasa, namun lebih sebagai ekspresi ideologis di dalam lingkungan sosial. Dan bagi kalangan produsen dan makelar atau reseller sarung karakter, ini adalah peluang pasar yang kuat. Ini peluang besar memadatkan pundi-pundi penjualan.  Lantas, apakah tingginya permintaan pasar atas sarung karakter ini terpengaruh 'keramat' NU? Tentu saja, tanpa adanya logo tersebut, kain sarung hanyalah selembar kain yang nir-faidah. Sekali lagi NU menunjukkan endorsenya terhadap kreativitas dunia industri tekstil di Indonesia. Logo NU pada Sarung Dikecam Sebenarnya, entah ide siapa yang pertama kali menjadikan logo NU sebagai ornamen sarung. Ada yang menyebut hal ini marak semenjak logo-logo banom NU mulai dijadikan bahan atasan batik pada dasawarsa terakhir ini. Ekspr...