Skip to main content

Dosen Dikerjai Kapitalisasi Jurnal Ilmiah?

Seorang akademisi dengan bangganya berkata “Alhamdulillah artikel saya bisa dipublish oleh jurnal yang terindeks oleh Scopus”. Seorang dosen senior lantas bertanya. "Bayar berapa bisa publish di jurnal tersebut?” “Bayar 7 juta..” jawab si akademisi tersebut.
Dosen senior itu kemudian tertawa. “he he he.. Masukkan jurnal bayar 7 juta kok bangga”. “Seharusnya justru dibayar, bukannya mbayar”. “Kalau bayar, sudah biasa. Apalagi mbayarnya dibebankan pada negara (rakyat)”.
Kemudian dosen senior itu melanjutkan “Kita ini semakin lama, sepertinya semakin dikerjai oleh sistem kapitalis. Masukkan artikel harus membayar, download artikel pada jurnal jurnal terindeks juga membayar. Tegasnya perguruan tingginya yang bayar, pakai uang negara”.
Mereka para pengelola jurnal internasional,sekali tepuk. Mereka langsung dapat dua keuntungan sekaligus. Keuntungan finansial (karena kita bayar untuk publish dan bayar juga untuk akses). Selain itu mereka dapat informasi-informasi penting dan strategis yang gratis dari hasil-hasil penelitian kita.
“Kita ini dimanfaatkan oleh lembaga lembaga yang mengelola jurnal. Dan kitanya sendiri mau tidak mau (karena kepentingan naik pangkat, kepentingan sertifikasi, kepentingan jadi guru besar), akhirnya kita juga mengikutinya”. "Apalagi sekarang, guru besar dan lektor kepala akan dipotong tunjangan serdosnya jika tidak nulis di jurnal internasional".

Sehingga sekarang menjamur lembaga-lembaga pengelola jurnal yang menganggap lembaganya sebagai “jurnal internasional”, meskipun abal-abal. Dan banyak dari kalangan akademisi yang juga tergiur memanfaatkan jurnal abal-abal tersebut. Banyak jurnal abal-abal yang juga terindeks scopus.
Memang di banyak kampus. Ketika seorang akademisi mau mengajukan kenaikan pangkat biasanya kebingungan untuk publikasi. Menulis hasil penelitian, dan kemudian dikirimkan pada pengelola jurnal yang terakreditasi.
Kalau jurnal itu tidak terakreditasi, biasanya pengelola dari jurnal tersebut kesulitan untuk mendapatkan artikel hasil penelitian. Banyak dari akademisi yang enggan untuk memasukkan pada jurnal tersebut, karena kredit poinnya sangat kecil jika digunakan untuk kenaikan pangkat.
Tetapi jika jurnal itu terakreditasi biasanya antri untuk memasukkan tulisan pada jurnal tersebut, dan biasanya penulis harus bayar antara 1-2 juta untuk jurnal akreditasi nasional.
Untuk publikasi pada jurnal internasional pun seringkali pengelola jurnal tersebut juga menarik biaya yang tidak murah, berkisar 5–7 juta tergantung pada jurnalnya.
Sementara, ada juga yang tidak berbayar untuk publikasi internasional. Tetapi penulisnya harus menghadiri seminar internasional di luar negeri yang biayanya semakin banyak (biaya transport pesawat pulang pergi, penginapan dan biaya pendaftaran, serta uang saku) dan biasanya biaya ini dibebankan pada negara dan rakyat.
Jadi seringkali untuk urusan publikasi juga tidak lepas dari kepentingan bisnis para pengelola jurnal tersebut. Dan seringkali tujuan publikasi lebih terkait dengan urusan kenaikan pangkat para akademisi.
Sehingga semakin lama hampir di semua kampus, banyak para peneliti menjadi lebih bersikap pragmatis dimana tujuan utama publikasi seolah-olah hanyalah untuk memenuhi persyaratan kenaikan pangkat yang lebih bersifat adminsitratif dari pada substantif.
Sebenarnya, fungsi utama publikasi ilmiah adalah untuk pengembangan ilmu yang pada akhirnya melahirkan kesadaran akan makna hidup dan kesadaran untuk ikut menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi kehidupan semua makhluk yang ada di alam ini.
Kalau menurut Terry Mart, bahwa tujuan paling hakiki dari publikasi karya ilmiah adalah guna memberi tahu kepada kolega sebidang bahwa si penulis karya ilmiah telah mendapatkan satu temuan penting dari penelitiannya. Dalam banyak kasus, hanya kolega yang penelitiannya sama atau mirip saja yang dapat benar-benar paham. Di sini mulai terasa pentingnya eksistensi komunitas peneliti sebidang dalam memajukan ilmu mereka.
Tujuan sebenarnya dari publikasi adalah untuk memberikan informasi tentang ilmu pengetahuan baru kepada masyarakat yang dapat diambil manfaatnya bagi yang membacanya. Atau dengan kata lain publikasi jurnal ilmiah adalah sebagai upaya untuk meningkatkan manfaat hasil penelitian sehingga berdampak pada perbaikan dan kemaslahatan kehidupan masyarakat.
Jadi tujuan publikasi adalah upaya untuk meningkatkan manfaat hasil penelitian sehingga berdampak pada perbaikan dan kemaslahatan kehidupan masyarakat dan kehidupan semua makhluk. Jadi bukan hanya sekedar untuk ngurusi kenaikan pangkat, bukan sekedar sebagai persyaratan untuk menjadi profesor. Bukan sekedar agar kampusnya terakreditasi A. Dan juga bukan sekedar menjadi kampus yang berWCU.
Wallahu a’lam
Situbondo 10 Oktober 2017
@Agus Mulyono - Dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Perkuliahan

 Assalamu'alaikum Mahasiswa! Dalam laman ini akan dideskripsikan ruang keilmuan yang diampu Pak Dosen. Tentu, secara berkala akan dilakukan revisi-revisi yang relevan dengan data dan perkembangan keilmuan. Jadi, halaman ini akan menjadi semacam peta perkuliahan yang memudahkan bagi mahasiswa untuk mengakses pokok-pokok tema pengetahuan yang akan dibahas dalam perkuliahan.  Perkuliahan yang akan disematkan di sini mengadung kontrak perkuliahan, Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan materi-materi yang menjadi diskursus pembahasan. Bagi mahasiswa dan pengunjung, jangan lupa untuk memfollow situs ini untuk memudahkan informasi perkembangan keilmuan yang sedang didalami.  Daftar Perkuliahan: Etika Bisnis Islam Akuntansi Syariah Hukum Gadai Pengantar Ekonomi Syariah

Sejarah Filologis Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh

  Secara demografis, Desa Dukuhwaluh merupakan perluasan kawasan Desa Pandak dan Dusun Woeloeng yang berbatasan dengan Desa Tambaksari, Desa Bantarwoeni, Desa Karangsari, Desa Bojong dan Desa Artja di sisi selatan. Pemekaran kawasan ini sekaligus menjadikan suatu kawasan administrasi yang baru dengan sebutan Dukuhwaluh. Pada tahun 1992 di sisi barat daya Desa Dukuhwaluh berdiri lembaga pendidikan agama Islam bercorak salafiyyah atas inisiasi Dr. KH. Chariri Shofa, M.Ag atau yang masyhur diingat sebagai Kyai Khariri. Sebelum membuka pemukiman santri di Dukuh Wulung, beliau merupakan salah satu dari badal pendiri dan pengasuh yaitu KH. Muslich bersama Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsani di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto.

Sarung Berlogo NU Dikecam, Produsen dan Reseller Mengerang.

Ilustrasi Sarung NU Sarung NU Indetitas masih menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Termasuk logo Nahdlatul Ulama (NU) di kalangan pasar Nahdliyyin. Bagi sebagian pembeli, sarung karakter satu ini bukan hanya sekedar sarung biasa, namun lebih sebagai ekspresi ideologis di dalam lingkungan sosial. Dan bagi kalangan produsen dan makelar atau reseller sarung karakter, ini adalah peluang pasar yang kuat. Ini peluang besar memadatkan pundi-pundi penjualan.  Lantas, apakah tingginya permintaan pasar atas sarung karakter ini terpengaruh 'keramat' NU? Tentu saja, tanpa adanya logo tersebut, kain sarung hanyalah selembar kain yang nir-faidah. Sekali lagi NU menunjukkan endorsenya terhadap kreativitas dunia industri tekstil di Indonesia. Logo NU pada Sarung Dikecam Sebenarnya, entah ide siapa yang pertama kali menjadikan logo NU sebagai ornamen sarung. Ada yang menyebut hal ini marak semenjak logo-logo banom NU mulai dijadikan bahan atasan batik pada dasawarsa terakhir ini. Ekspr...