Skip to main content

Ebeg: Sebuah Budaya Perlawanan







Adoh ratu perek watu, jauh dari raja dekat dengan batu. Kalimat tersebut kerap dipakai untuk menggambarkan eksistensi Banyumas atau wong Banyumas. Secara politik, tak pernah ada raja yang berkeraton di wilayah yang dikelilingi pegunungan ini, yang ada hanya seorang adipati. Banyumas, sebuah daerah perdikan dan negeri ”mancanegara”, baik pada masa Majapahit dan Mataram (Jawa) maupun Pajajaran (Sunda). 

Banyumas berkesempatan mengembangkan budaya sendiri yang khas dan unik. Satu unsur budaya yang lekat di masyarakat Banyumas dan masih bertahan hingga kini adalah dialek bahasa penginyongannya. Konon, ini adalah Bahasa Jawa murni atau bahasa Jawadwipa. Banyumas juga kaya akan kesenian khas, seperti ebeg, cowongan, lengger, genjringan, ujungan, udhun-udhunan, begalan, memedi sawah, dan kentongan. Seni-seni tersebut agak berbeda dengan seni budaya yang berkembang di tempat lain. Maka Wong Banyumas tidak terlalu memuja kasta. Egaliter, kesederajatan, blakasuta, menjadi pola hidup kesehariannya. Karena priyayi hanya menyengsarakan abdinya. Raden hanya menyusahkan baturnya. Majikan hanya menyengsarakan kacungnya.


Adalah Ebeg (dalam bahasa Banyumasan) atau Jaran Kepang atau Kuda Lumping sebagai entitas kesenian lokal yang tidak lekang oleh zaman. Kesenian yang menyimpan pesan heroisme perlawanan ini diyakini jauh ada sebelum era Perang Diponegoro. Suatu masa yang disebut-sebut sebagai mula dari kesenian tradisional ini. Berkat dakwah Wali Songo yang gigih dan ramah budaya setempat, kesenian ini lantas menjadi bagian yang dimanfaatkan sebagai bagian dari dakwah Islam.

Ebeg berasal dari kata embleg, artinya anyaman bambu. Dalam bunyi kata yang sama dengan gedheg, yaitu anyaman bambu yang digunakan sebagai diding rumah di masa lampau. Oleh para budayawan pada era Perang Diponogoro, ebeg lantas mengalami metamorfosis sedemikian rupa sebagai salah satu propaganda perlawanan terhadap imperium VOC yang didukung oleh para borjuis dari kalangan bangsawan antek Nederland. Dalam hal ini, baik dari kalangan borjuis lokal maupun bangsa asing keturunan. Inilah mengapa ebeg tidak masuk ke dalam satuan kesenian yang 'diakui' oleh pihak istana kesultanan manapun.

Komposisi Kelompok Ebeg
Kesenian Ebeg adalah entitas pagelaran massal yang ditampilkan secara berekelompok dan kolosal. Dalam pagelarannya, Ebeg lazimnya tayang antara empat sampai enam jam. Karena merupakan penampilan massal, maka pagelaran Ebeg membutuhkan tempat yang cukup luas. Semakin alamiah suatu lokasi maka semakin baik pula hasil pagelaran yang dilakukan. Hal ini juga terkait keamanan para pemain Ebeg dan penonton yang biasanya akan membludak meskipun tanpa adanya undangan.

Dalam satu kelompok kesenian Ebeg setidaknya terdapat beberapa unsur yang terlibat. Pertama, Dalang atau kamituwa. Dalang di sini berperan sebagai pembina sekaligus pimpinan lapangan saat suatu rombongan (kelompok) kesenian ebeg tampil di suatu tempat. Dalam latihan dan olah spiritual, dalang pula yang memegang peranan melatih dan membimbing perkembangan unsur-unsur kelompok dalam rombongan ebegnya, yaitu: wayang, wiyaga, penabuh musik dan indhang.

Kedua, Wayang atau para pemain Ebeg. Dalam pagelaran, lakon Ebeg adalah epik kesatria, kepahlawanan dan perjuangan (perang). Biasanya pemain akan di bagi menjadi dua kelompok dengan indetitas yang tidak mencolok, semisal warna anyaman kuda kepangnya atau aksesoris yang dipakai para wayang. Mereka menari dalam beberapa interval tarian seperti Baladewaan dan lainnya. Para wayang akan berdiri menjadi dua barisan, dominasi warna putih melambangkan kebaikan dan warna merah atau kuning melambangkan keangkara murkaan. Wayang, biasanya berjumlah genap dalam masing-masing barisannya, namun hal ini tidaklah pakem. Dalam tarian nantinya mereka akan terlibat secara berpasangan hadap-hadapan hingga terjadi wuru (trans) seiring ritme gending yang dilagukan. Pernik aksesoris yang digunakan para wayang inipun beragam dari ujung kepala seperti mahkota, klat, rompi, slendang hingga krincingan (lonceng kaki) serta riasan wajah.

Selain wayang Ebeg, komposisi penari juga diisi oleh dua orang pemeran Barongan dan dua orang pemeran gara-gara sebagai puncak pagelaran Ebeg, yaitu Cepet dan Penthul.

Ketiga, Wiyaga dan penabuh. Sebagai pembuka, pengiring dan penutup pagelaran Ebeg, iringan musik tembangan bukan saja sebagai pengisi tarian wayang, namun juga sebagai aba-aba bagi mereka yang menari di lapangan. Para pengiring lagu ini biasanya menyanyikan lirik-lirik yang mengandung makna kesejatian hidup, penghambaan kepada Yang Kuasa dan pesan-pesan dalam kehidupan yang diwariskan oleh para Kanjeng Wali Sanga. Beberapa dari lirik-lirik gendingan itu diisikan sholawat yang diadaptasikan ke dalam bahasa Jawa dan terkadang juga tembang jonjangan (gurauan yang kocak maknanya).

Keempat, Indhang. Sisi esoteris dari ebeg adalah indhang yang menunjukan harmoni dan hubungan antara manusia dan jin. Sebutan jin di sini adalah seluruh makhluk halus non-indrawiyyah. Indang termasuk salah satu jin purba yang unik dan termasuk ke dalam ras shahibul ardh (mbaureksa). Metode wuru digunakan oleh para pendakwah Islam zaman dahulu sebagai pembuktian bahwa makhluk jin itu benar-benar ada dan mereka pun beragam tingkah laku dan keyakinannya. Sebagian ada yang baik dan sebagian lainnya ada yang tidak baik. Terkadang oleh Dalang, indhang yang memiliki kemampuan ketabiban tidak jarang digunakan untuk berkonsultasi terkait penyakit dari penonton yang sedang sakit. Pun permasalahan pertanian dan lainnya kepada kalangan indhang yang memiliki spesifikasi yang relevan.

Guna menguasai indhang dibutuhkan tirakatan khusus yang tidak mudah. Indhang yang memiliki peradaban tinggi cenderung tidak akan membawa pengaruh negatif bagi wayang maupun wiyaga Ebeg. Dan untuk menemukan indhang yang baik (muslim dan shalih) pun biasanya dapat ditemukan di panembahan-panembahan para pendahulu yang keramat (suci). Panembahan Tunggul Wulung misalnya di Desa Kalilandak Kecamatan Purworejo Klampok Banjarnegara.

Lantas apa kedudukan Ebeg bagi masyarakat Jawa dan kapankah saatnya pagelaran ini sebaiknya dilaksanakan. Tunggu tulisan saya berikutnya ya? Silahkan beri masukan atau respon pada kotak komentar.

Comments

Popular posts from this blog

Daftar Perkuliahan

 Assalamu'alaikum Mahasiswa! Dalam laman ini akan dideskripsikan ruang keilmuan yang diampu Pak Dosen. Tentu, secara berkala akan dilakukan revisi-revisi yang relevan dengan data dan perkembangan keilmuan. Jadi, halaman ini akan menjadi semacam peta perkuliahan yang memudahkan bagi mahasiswa untuk mengakses pokok-pokok tema pengetahuan yang akan dibahas dalam perkuliahan.  Perkuliahan yang akan disematkan di sini mengadung kontrak perkuliahan, Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan materi-materi yang menjadi diskursus pembahasan. Bagi mahasiswa dan pengunjung, jangan lupa untuk memfollow situs ini untuk memudahkan informasi perkembangan keilmuan yang sedang didalami.  Daftar Perkuliahan: Etika Bisnis Islam Akuntansi Syariah Hukum Gadai Pengantar Ekonomi Syariah

Sejarah Filologis Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh

  Secara demografis, Desa Dukuhwaluh merupakan perluasan kawasan Desa Pandak dan Dusun Woeloeng yang berbatasan dengan Desa Tambaksari, Desa Bantarwoeni, Desa Karangsari, Desa Bojong dan Desa Artja di sisi selatan. Pemekaran kawasan ini sekaligus menjadikan suatu kawasan administrasi yang baru dengan sebutan Dukuhwaluh. Pada tahun 1992 di sisi barat daya Desa Dukuhwaluh berdiri lembaga pendidikan agama Islam bercorak salafiyyah atas inisiasi Dr. KH. Chariri Shofa, M.Ag atau yang masyhur diingat sebagai Kyai Khariri. Sebelum membuka pemukiman santri di Dukuh Wulung, beliau merupakan salah satu dari badal pendiri dan pengasuh yaitu KH. Muslich bersama Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsani di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto.

Sarung Berlogo NU Dikecam, Produsen dan Reseller Mengerang.

Ilustrasi Sarung NU Sarung NU Indetitas masih menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Termasuk logo Nahdlatul Ulama (NU) di kalangan pasar Nahdliyyin. Bagi sebagian pembeli, sarung karakter satu ini bukan hanya sekedar sarung biasa, namun lebih sebagai ekspresi ideologis di dalam lingkungan sosial. Dan bagi kalangan produsen dan makelar atau reseller sarung karakter, ini adalah peluang pasar yang kuat. Ini peluang besar memadatkan pundi-pundi penjualan.  Lantas, apakah tingginya permintaan pasar atas sarung karakter ini terpengaruh 'keramat' NU? Tentu saja, tanpa adanya logo tersebut, kain sarung hanyalah selembar kain yang nir-faidah. Sekali lagi NU menunjukkan endorsenya terhadap kreativitas dunia industri tekstil di Indonesia. Logo NU pada Sarung Dikecam Sebenarnya, entah ide siapa yang pertama kali menjadikan logo NU sebagai ornamen sarung. Ada yang menyebut hal ini marak semenjak logo-logo banom NU mulai dijadikan bahan atasan batik pada dasawarsa terakhir ini. Ekspr...