Skip to main content

Syech Machdum Kusen: Sejarah Desa Rajawana Karangmoncol Purbalingga

Hasil gambar untuk kesenian braen rajawana

Rajawana merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Karangmoncol, Kabupaten Purbalingga, Provinsi Jawa Tengah. Berdasarkan fakta yang sudah turun temurun dari nenek moyang, konon katanya Desa Rajawana adalah Desa Keputihan, artinya desa yang bersih. Bersih disini bukan berarti bersih dari sampah, tetapi bersih dari animisme dan dinamisme yakni kepercayaan terhadap benda-benda dan roh-roh halus. Rajawana termasuk salah satu desa dimana para wali menyebarkan agama islam di Bumi Cahyana sebelum masa Wali Songo, jadi penyebaran agama islam pertama di Pulau Jawa adalah di Cahyana.

Di Rajawana ada larangan terhadap pertunjukan wayang kulit, konon jika dilakukan akan terjadi kebakaran dan akan melalap habis desa tersebut. Dan itu sudah menjadi mitos yang sangat melekat pada masyarakat. Desa Rajawana juga mempunyai kesenian asli yang berasal dari desa tersebut yang bernama “Braen”. Ini merupakan kesenian peninggalan pemimpin Desa Rajawana yaitu Syech Machdum Kusen. Berikut sejarah singkat kesenian “Braen” menurut Tri Atmo, beliau merupakan seorang pemerhati sejarah Purbalingga. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhTWhBOSadDB6gzqT6L3xVjtGpeyjamz_V5UK9SymoB9ojpgYXw1qohApiPZWcaUrOyuiZlUN-bbVAw73h5qD2j0Anm_4glvEkX91j-fVPU-ZD8hgev4MCiCR75-v8qqxmlulVx6BTmzUk/s640/Braen+1b.JPGDahulu, Rajawana mempunyai persahabatan yang sangat erat dengan Padjajaran, tetapi tiba-tiba Padjajaran bersama Portugis bersama-sama menyerbu Bumi Cahyana sekitar tahun 1500an. Maka hubungan Rajawana dengan Padjajaran menjadi retak. Dari Jawa Tengah sendiri ada Raja Demak yang bernama Trenggono, beliau kemudian mengutus Fatahilah untuk merebut kembali Bumi Cahyana. Bumi Cahyana akhirnya berhasil direbut kembali oleh Fatahilah pada tanggal 22 Juni 1527. Akan tetapi, prajurit-prajurit yang masih setia kepada Padjajaran diutus kembali untuk menangkap kembali pimpinan Rajawana yaitu Machdum Kusen. Kemudian Machdum Kusen memerintahkan kepada para wanita yang berasal dari pondok pesantren untuk menabuh rebana. Ketika para prajurit datang, kemudian rebana dimainkan. Bebarengan dengan ditabuhnya rebana tiba-tiba datanglah sekumpulan tawon gung yang kemudian mengeroyok prajuritnya. Para prajuritnya kemudian lari tunggang langgang. Dan pemukulan rebana tersebut yang kemudian dinamakan “Braen”.


"Awang uwung,.."

Ini adalah penggalan kalimat yang dilantunkan Mbah Salihah salah seorang Rubiyah dalam kesenian Braen. Dalam usianya yang sudah mencapai tujuh dasawarsa, nenek berparas cantik ini berbagi kisahnya dalam upaya melestarikan kesenian peninggalan leluhurnya, Syech Machdum Kusen. Mbah Salihah atau yang juga dikenal dengan sebutan Bu Karso adalah keturunan putri ke-13 dari Syech Machdum Kusen salah seorang penyebar agama Islam di Purbalingga dan merupakan pimipinan Rajawana. Dan hanya keturunan Machdum Kusenlah yang boleh memainkan kesenian ini.

Sebelum dimulai, sang Rubiyah (penabuh terbang - serupa rebana) akan memangku terbang-nya dengan cara duduk bersimpuh. Agar berbunyi nyaring, terbang ini akan digarang atau dipanaskan dengan nyala api dibawahnya terlebih dulu. Sementara lima - enam pelaku seni braen lainnya juga akan ikut duduk bersimpuh disampingnya. Dihadapan mereka disiapkan segala perlengakpan upacara serta hidangan untuk dikonsumsi


Syech Machdum Kusen

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiIJ6kUGfnktUGWJUpToIj7hsZGw-UWsm5B2jWbKZHNCBBrNDETkhOb3xYQjiHH5Qrtn4bZryyA0MVZGjWD-5127q9kTL_Fu_qo0J9-MnitD6Hj3p_Eoojr5yfv5n5PqV19MotTRIJjOds/s400/MAhdum+Husen+1.JPG

Bagi masyarakat Rajawana nama Machdum Kusen atau Kayu Puring memiliki peranan tersendiri. Beliau merupakan putra Nyai Rubiah Bekti dengan Pangeran Atas Angin. Dengan demikian Machdum Kusen juga masih memiliki garis keturunan dengan Syech Jambu Karang. Dan seperti ayah dan kakeknya, Machdum Kusen pun turut menyebarluaskan agama islam di wilayah tersebut.

Dalam sejarahnya, Syech Machdum Kusen pernah mengusir pasukan Padjajaran yang ingin menguasai Bhumi Cahyana. Sejak masa pendahulunya, Padjajaran memang merasa terancam dengan perkembangan Islam yang dilupayakan Syech Jambu Karang beserta keturunannya. Dan Machdum Kusen sendiri memiliki andil besar dalam memukul mundur pasukan yang berniat menguasai Cahyana. Dengan pertolongan Allah SWT, Machdum Kusen dapat memanggil ribuan tawon gung hanya dengan bantuan tetabuhan rebana atau terbang para Nyai. Hal inipun menjadikan pasukan lawan mundur karena tidak tahan menghadapi serangan lebah-lebah iu. Merekapun terpaksa pulang kembali ke daerah asal. Sungai yang menjadi saksi kembalinya mereka kemudian dinamakan Sungai Mulih dari arti kata kembali dalam bahasa Jawa. Dan kejadian inilah yang kemudian melatar-belakangi munculnya kesenian Braen di  Rajawana.

Makam


Makam Machdum Kusen diperkirakan telah mencapai ratusan tahun. Lokasinya terbilang cukup mudah untuk dijangkau. Tidak hanya itu, lokasinya yang berada tepat di tikungan menanjak Rajawana juga semakin mempermudah kita menggapainya. Seperti halnya para tokoh besar, makam inipun terletak di daerah dataran tinggi yang dikelilingi lereng.

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEheKihKxn1UfGUflkBPofmwydVk5Jx-VurCAZ-JXdQ28RQgopcyZkQ0vpQ7MDZmra-ta90fdk0XDZSVE7vlCJ-Fej6W61ulPbDYwMZFQBYOauqMTu4ik6_cKnDNff3kLZNgOK0ENZDt5Z0/s400/Mahdum+Husen+6.JPG


Areal makamnya cukup luas serta tedapat sebuah patng harimau loreng yang turut menjaga makam ini. Namun yang pasti keberadaan patung tersebut hanyalah sebuah bentuk ekspresi seni dari donatur yang turut mengelola makam ini. 

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh0pIyoWfYw6IiUhjZcLhvpGK1TmzdcFB3j-CXG7VfqHJnASSuws0XaYGUQBc6aH-PsBVoZXqTKHPpW8cNjbV9oXqkQu-fBf6uxbUANnArSGKhL7-xAL5PDYnRFo46ql5nUpNviV7LlLbM/s400/Mahdum+Husen+3.JPG

Cungkup makam ini termasuk bangunan baru dan sudah beberapa kali mengalami perombakan. Nisan dan jiratnya terbuat dari batu bata dengan ukuran bata 20 cm x 30 cm x 10 cm. Makam ini biasanya ramai dikunjungi pada malam Selasa atau Jumat Kliwon. Meski belum seramai makam Wali Songo, namun dalam beberapa tahun terakhir banyak rombongan datang terutama dari Brebes, Pemalang, Cilacap dan Banjarnegara.


Anam Syafi’i, Juru Kunci Makam Syech Machdum Kusen


Comments

Popular posts from this blog

Daftar Perkuliahan

 Assalamu'alaikum Mahasiswa! Dalam laman ini akan dideskripsikan ruang keilmuan yang diampu Pak Dosen. Tentu, secara berkala akan dilakukan revisi-revisi yang relevan dengan data dan perkembangan keilmuan. Jadi, halaman ini akan menjadi semacam peta perkuliahan yang memudahkan bagi mahasiswa untuk mengakses pokok-pokok tema pengetahuan yang akan dibahas dalam perkuliahan.  Perkuliahan yang akan disematkan di sini mengadung kontrak perkuliahan, Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan materi-materi yang menjadi diskursus pembahasan. Bagi mahasiswa dan pengunjung, jangan lupa untuk memfollow situs ini untuk memudahkan informasi perkembangan keilmuan yang sedang didalami.  Daftar Perkuliahan: Etika Bisnis Islam Akuntansi Syariah Hukum Gadai Pengantar Ekonomi Syariah

Sejarah Filologis Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh

  Secara demografis, Desa Dukuhwaluh merupakan perluasan kawasan Desa Pandak dan Dusun Woeloeng yang berbatasan dengan Desa Tambaksari, Desa Bantarwoeni, Desa Karangsari, Desa Bojong dan Desa Artja di sisi selatan. Pemekaran kawasan ini sekaligus menjadikan suatu kawasan administrasi yang baru dengan sebutan Dukuhwaluh. Pada tahun 1992 di sisi barat daya Desa Dukuhwaluh berdiri lembaga pendidikan agama Islam bercorak salafiyyah atas inisiasi Dr. KH. Chariri Shofa, M.Ag atau yang masyhur diingat sebagai Kyai Khariri. Sebelum membuka pemukiman santri di Dukuh Wulung, beliau merupakan salah satu dari badal pendiri dan pengasuh yaitu KH. Muslich bersama Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsani di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto.

Sarung Berlogo NU Dikecam, Produsen dan Reseller Mengerang.

Ilustrasi Sarung NU Sarung NU Indetitas masih menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Termasuk logo Nahdlatul Ulama (NU) di kalangan pasar Nahdliyyin. Bagi sebagian pembeli, sarung karakter satu ini bukan hanya sekedar sarung biasa, namun lebih sebagai ekspresi ideologis di dalam lingkungan sosial. Dan bagi kalangan produsen dan makelar atau reseller sarung karakter, ini adalah peluang pasar yang kuat. Ini peluang besar memadatkan pundi-pundi penjualan.  Lantas, apakah tingginya permintaan pasar atas sarung karakter ini terpengaruh 'keramat' NU? Tentu saja, tanpa adanya logo tersebut, kain sarung hanyalah selembar kain yang nir-faidah. Sekali lagi NU menunjukkan endorsenya terhadap kreativitas dunia industri tekstil di Indonesia. Logo NU pada Sarung Dikecam Sebenarnya, entah ide siapa yang pertama kali menjadikan logo NU sebagai ornamen sarung. Ada yang menyebut hal ini marak semenjak logo-logo banom NU mulai dijadikan bahan atasan batik pada dasawarsa terakhir ini. Ekspr...