Skip to main content

Kiai Katisara; Mahaguru Utama Pra-Purwokerto




Purwokerto pada akhirnya menetapi takdirnya sebagai titik tengah pengungsian pada masa awal keberadaannya. Musibah yang dimaksud berupa angin taufan yang berlangsung sebulanan pada tahun 1832 M, dan setelah peristiwa Banyumas Blabur pada  21 sampai dengan 23 Februari 1861. Dua peristiwa monumental tersebutlah yang memantapkan otoritas setempat untuk memindahkan kotapraja kadipaten ke kawasan Purwokerto hari ini.

Lantas, sebelum peristiwa di atas, bagaimana kondisi sosial Purwokerto? Mari kita bahas dan diskusikan di sini.

Sebagaimana penjelasan Prof. KH. Agus Sunyoto, penyebaran Islam di Djawa Dwipa pasca Majapahit ialah dengan menyelenggarakan sejumlah lembaga pendidikan tradisional, baik berupa pesantren, padepokan maupun berupa peguron. Sebagaimana pesantren, peguron lazimnya dipimpin oleh para bijak yang dipanggil dengan sebutan Kyai. 

Dahulu kala, kawasan Purwokerto hari ini dikenal sebagai kawasan Peguwon, suatu kata yang berasal dari istilah peguron. Peguwon yang berpusat di Purwokerto Wetan hari ini dipimpin oleh Kyai Katisara. Beliaulah kyai pertama yang babad alas di kawasan Peguwon, atau daerah jalan Penatus area Pasar Wage hari ini.

Kawasan Peguwon merupakan lingkar otorisasi birokrasi dan keagamaan di antara Sungai Banjaran dan Sungai Pelus. Itu mengapa, hingga akhir abad-19 tidak diketemukan pesantren sepuh di antara dua sungai ini hingga pasca kemerdekaan Indonesia. Saat itu pusat pemerintahan dari pergeseran Kadipaten Banyumas dan Ajibarang menempati kawasan Pasar Wage dengan Masjid Wakafiyyah sebagai masjid Jami'. Itulah mengapa kawasan tua ini disebut sebagai Kauman Lama, satu-satunya peristilahan kawasan yang ada di pulau Jawa; mengingat inilah kawasan pemukiman formal yang berdiri di kawasan Purwokerto.


Comments

Popular posts from this blog

Daftar Perkuliahan

 Assalamu'alaikum Mahasiswa! Dalam laman ini akan dideskripsikan ruang keilmuan yang diampu Pak Dosen. Tentu, secara berkala akan dilakukan revisi-revisi yang relevan dengan data dan perkembangan keilmuan. Jadi, halaman ini akan menjadi semacam peta perkuliahan yang memudahkan bagi mahasiswa untuk mengakses pokok-pokok tema pengetahuan yang akan dibahas dalam perkuliahan.  Perkuliahan yang akan disematkan di sini mengadung kontrak perkuliahan, Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan materi-materi yang menjadi diskursus pembahasan. Bagi mahasiswa dan pengunjung, jangan lupa untuk memfollow situs ini untuk memudahkan informasi perkembangan keilmuan yang sedang didalami.  Daftar Perkuliahan: Etika Bisnis Islam Akuntansi Syariah Hukum Gadai Pengantar Ekonomi Syariah

Sejarah Filologis Pondok Pesantren Darussalam Dukuhwaluh

  Secara demografis, Desa Dukuhwaluh merupakan perluasan kawasan Desa Pandak dan Dusun Woeloeng yang berbatasan dengan Desa Tambaksari, Desa Bantarwoeni, Desa Karangsari, Desa Bojong dan Desa Artja di sisi selatan. Pemekaran kawasan ini sekaligus menjadikan suatu kawasan administrasi yang baru dengan sebutan Dukuhwaluh. Pada tahun 1992 di sisi barat daya Desa Dukuhwaluh berdiri lembaga pendidikan agama Islam bercorak salafiyyah atas inisiasi Dr. KH. Chariri Shofa, M.Ag atau yang masyhur diingat sebagai Kyai Khariri. Sebelum membuka pemukiman santri di Dukuh Wulung, beliau merupakan salah satu dari badal pendiri dan pengasuh yaitu KH. Muslich bersama Dr. KH. Noer Iskandar al-Barsani di Pondok Pesantren Al-Hidayah Karangsuci Purwokerto.

Sarung Berlogo NU Dikecam, Produsen dan Reseller Mengerang.

Ilustrasi Sarung NU Sarung NU Indetitas masih menjadi komoditas bisnis yang menguntungkan. Termasuk logo Nahdlatul Ulama (NU) di kalangan pasar Nahdliyyin. Bagi sebagian pembeli, sarung karakter satu ini bukan hanya sekedar sarung biasa, namun lebih sebagai ekspresi ideologis di dalam lingkungan sosial. Dan bagi kalangan produsen dan makelar atau reseller sarung karakter, ini adalah peluang pasar yang kuat. Ini peluang besar memadatkan pundi-pundi penjualan.  Lantas, apakah tingginya permintaan pasar atas sarung karakter ini terpengaruh 'keramat' NU? Tentu saja, tanpa adanya logo tersebut, kain sarung hanyalah selembar kain yang nir-faidah. Sekali lagi NU menunjukkan endorsenya terhadap kreativitas dunia industri tekstil di Indonesia. Logo NU pada Sarung Dikecam Sebenarnya, entah ide siapa yang pertama kali menjadikan logo NU sebagai ornamen sarung. Ada yang menyebut hal ini marak semenjak logo-logo banom NU mulai dijadikan bahan atasan batik pada dasawarsa terakhir ini. Ekspr...